MACAN ALI
CIREBON : AHLULBAIT RASULULLAH
Macan Ali
adalah panji Kesultanan Cirebon yang merupakan kaligrafi arab yang dibentuk
menyerupai harimau (macan). Dalam panji Macan Ali tersebut, terdapat tulisan
“bismillah” dan ayat-ayat al-Quran, Dua bintang yang mengandung 8 sisi,
yang melambangkan Muhammad dan Fatimah. Sedangkan diantara “bismillah” dan dua
bintang terdapat dua gambar singa kecil dan besar dan pedang bercabang dua yang
melambangkan pedang Zulfikar milik Imam Ali salah satu Sahabat Nabi Muhammad
Saw yang terkenal sebagai seorang panglima perang yang pemberani. Setelah
pedang Zulfikar terdapat gambar singa besar, yaitulah Asadullah, alias singa Tuhan. Di dalam bahasa Indonesia singa Ali
diterjemahkan dengan “macan Ali”. Di dalam panji, tergambar lima orang manusia
suci sebagai sumber petunjuk dan hidayah. Raja-raja Islam Jawa sangat menyakini
hakikat nur Muhammad sehingga dalam
setiap peperangan selalu mengharapkan keberkahan. Karena itu logo-logo Ahlulbait as selalu tampak dalam setiap
Bendera raja-raja Cirebon.
Jika dalam
literature sejarah, diketahuinya panji Macan Ali bermula ketika Armada Portugis
datang ke pulau Jawa dibawah pimpinan Enrique Leme dengan membawa hadiah
bagi Raja Sunda Pajajaran. Portugis melihat posisi Sunda Kalapa (sekarang
Jakarta) strategis sebagai pelabuhan dagang dan tempat transit bagi kapal-kapal
dagang Portugis. Kemudian Portugis mengadakan perjanjian dengan penguasa
setempat untuk mendirikan benteng atau pos dagang. Mereka diterima dengan baik
oleh penguasa setempat kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. Hingga akhirnya pada
tanggal 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian antara Portugis dan Kerajaan
Sunda Pajajaran. Perjanjian diabadikan pada prasasti batu Padrao yang
sampai saat ini bisa kita lihat di Museum Nasional Jakarta, PadrĂ£o Sunda
Kelapa, atau dinamakan juga “Perjanjian Sunda Kelapa”, ditemukan pada tahun
1918, ketika dilakukan penggalian untuk membangun rumah di Jalan Cengkeh (dulu
bernama Prinsenstraat), dekat Pasar Ikan, Sunda Kelapa, Jakarta Utara.
Dengan
perjanjian tersebut, pihak Pajajaran berharap Portugis dapat membantu
menghadapi serangan kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak dan Cirebon seiring
dengan menguatnya pengaruh Islam di Pulau Jawa yang mengancam keberadaan
kerajaan Hindu terakhir di Jawa Sunda Pakuan Pajajaran. Dengan perjanjian
tersebut Portugis berhak membangun pos dagang dan benteng di Sunda Kalapa.
Perjanjian
ini kemudian memicu serangan tentara Islam Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon
ke Sunda Kelapa pada tahun 1527 saat armada kapal Portugis kembali di bawah
pimpinan Francesco de Sa dengan persiapan untuk membangun benteng di Sunda Kalapa
Gabungan
kekuatan Kesultanan Banten yang dibantu oleh bala tentara kerajaan Islam Demak
dan Kesultanan Cirebon dibawah pimpinan ulama kharismatik Tubagus Pasei atau
Fadillah Khan (Fatahillah atau Faletehan) beserta Pasukan Cirebon yang terdiri
dari Angkatan Laut Sarwajala dipimpin oleh pendekar Ki Ageng Bungko, Angkatan
Darat Yudha Laga dipimpin oleh Pangeran Cirebon, dan pasukan khusus Singa
Bharwang Jalalullah yang terdiri dari para pendekar harimau dipimpin oleh
Adipati Cangkuang, serta sepasukan pendekar cadangan yang dipimpin oleh Adipati
Keling, kemudian berangkat ke Sunda Kalapa dengan menaiki perahu Bantaleo
dengan panji kebesaran kerajaan Cirebon Macan Ali, dan panji kerajaan Demak
yang bergambar pedang menyilang bertuliskan kalimat syahadat dipimpin oleh
Patih Yudhanagara. Sehingga pada saat berlabuh Portugis diserang dan berhasil
dikalahkan. Atas kemenangannya terhadap Kerajaan Sunda Pajajaran dan Portugis,
pada tanggal 22 Juni 1527, kemudian Fatahillah mengganti nama kota pelabuhan
Sunda Kalapa menjadi Jayakarta yang berarti “Kemenangan yang nyata”.
0 komentar:
Posting Komentar