Perkembangan awal
Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki
Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati,
Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah
tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan
tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai menetap dan membentuk
masyarakat baru di desa Caruban.
Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang
diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai
Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang, yaitu putra
Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang tak lain
adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat,
Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya
sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera
pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama
SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa). Nama kecilnya adalah Raden
Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan nama Kian Santang. Ia mempunyai
dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden
Sangara.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan
haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena
ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat
itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama
leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu
Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai
Cantring Manikmayang.
Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir
utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya,
melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di
Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan
Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana,
yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil
sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton
Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan
putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah
dari Mesir,
yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan
Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung
Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar
pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep
Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada
Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja
Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di
Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa,
dan Banten.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan
tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan
Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan
Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun
1565.
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi
dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan
tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah
atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon
secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta
kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada
tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan
berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung
Sembung.
Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon
lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung
Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan
Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah
Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun
1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama
Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran
Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran
Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan
Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya
atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit
di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan
Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa
curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram
(Amangkurat I
adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa
Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah
sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya
Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan
Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung
Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram (Islam). Makamnya di Jogjakarta, di bukit
Giriloyo, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri. Menurut beberapa
sumber di Imogiri maupun Giriloyo, tinggi makam Panembahan Giriloyo adalah
sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
sip mantap
BalasHapus