BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Apa itu demokrasi?. Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Begitulah pemahaman yang
paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang.
Istilah
"demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno
pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari
sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari
istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah
berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem
"demokrasi" di banyak negara.
Kata
"demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat,
dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata
kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab
demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu
negara.
Berbicara mengenai demokrasi
adalah memperbincangkan tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya pengelolaan kekuasaan secara beradab. Ia adalah sistem manajemenkekuasaan yang dilandasi oleh
nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargaimartabat manusia. Pelaku utama
demokrasi adalah kita semua, setiap orang yang selama ini selalu diatasnamakan
namun tak pernah ikut menentukan. Menjaga prosesdemokratisasi adalah
memahami secara benar hak-hak yang kita miliki,
menjaga hak-hak itu agar siapapun menghormatinya, melawan siapapun yang
berusaha melanggar hak-hak
itu. Demokrasi pada dasarnya adalah aturan orang (people rule), dan di dalam sistem
politik yang demokratis warga
mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama
di dalam mengatur pemerintahan di dunia publik. Sedang demokrasi adalah keputusan
berdasarkan suara terbanyak. Di Indonesia, pergerakan nasional juga
mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk
masyarakat sosialis. Bagi Gus Dur, landasan demokrasi adalahkeadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan
berarti juga otonomiatau kemandirian dari
orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia
ingini.
Jadi, masalah keadilan menjadi
penting, dalam arti dia mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya,
tetapi harus dihormati haknya dan harus diberi peluang dan kemudahan serta
pertolongan untuk mencapai ituDemokrasi adalah bentuk atau mekanisme
sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan
kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara
untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar
demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik
negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk
diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada
dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi
ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa
saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam pelaksanaanya, banyak sekali
penyimpangan terhadap nilai-nilai demokrasi baik itu dalam kehidupan
sehari-hari di keluarga maupun masyarakat.
Permasalahn yang muncul diantaranya yaitu:
- Belum tegaknya supermasi hukum.
- Kurangnya partisipasi masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
- Pelanggaran terhadap hak-hak orang lain.
- Tidak adanya kehidupan berpartisipasi dalam
kehidupan bersama (musyawarah untuk mencapai mufakat).
Untuk mengeliminasi masalah-masalah
yang ada, maka makalah ini akan memaparkan “PROBLEMATIKA DEMOKRASI DI
INDONESIA”
Karena banyaknya permasalahan-permasalahan
yang timbul, maka makalah ini hanya akan membahas tentang pentingnya budanya
demokrasi dalam kehidupan sehari-hari baik itu dalam keluarga maupun
masyarakat, berbangsa dan bernegara.
1.3 Landasan
Pemikiran
Kita
disini tahu bahwa demokrasi di Indonesia tidak berjalan semestinya, banyak
sekali masalah-masaalah yang timbul akibat pembentukkan pemerintahan yang
kurang tegas. Oleh karena itu, diharapkan agar pemerintah memperdulikan nasib
rakyatnya. Kami harap agar pemerintah bisa lebih baik lagi dalam membina sebuah
demokrasi dalam Negara ini. Penulis sangat menyayangkan ketika mengetahui fakta
dari demokrasi di Indonesia ini sangatlah kacau, jika ditilik dari sisi ekonomi
rakyat dan masalah demokrasi, debat minus esensi, sengkarut demokrasi,
demokratisasi, serta memperkuat demokrasi, pemerintah tidak pernah ada tindakan
yang logis maupun nyata. Sehingga kita sebagai rakyat yang sangat dirugikan
oleh ketidaktegasan demokrasi di Indonesia ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme
sistem pemerintahan
suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
2.2 Sejarah dan Perkembangan Demokrasi Indonesia
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai
contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern.
Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi
modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem
“demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua
kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein
yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata
kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab
demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu
negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam
kaitannya pembagian kekuasaan
dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica)
dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica
ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah
mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak
mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan
absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi
manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di
lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif
menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa
mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap lembaga negara bukan
saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang
mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu
secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga
negara tersebut.
Tahun 1988, ditandai dengan perubahan besar di
Indonesia. Ya, tentu saja rejim orde baru yang telah berkuasa selama 32 tahun
menjadi Presiden Republik Indonesia akhirnya turun juga. Demokrasi arti
sesungguhnya sudah menggantikan Demokrasi Pancasila versi
Orde Baru. Setelah Soeharto turun,
bangsa ini masih lemah, belum mempunyai kekuatan untuk membangun perubahan
secara damai, bertahap dan progresif. Bahkan bermunculan konflik – konflik baru
serta terjadi perubahan genetika sosial masyarakat Indonesia. Pada zaman itu,
krisis moneter pun melanda kepada krisi keuangan sehingga penurunan nilai
rupiah sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi msyarakat Indonesia.
Inflasi pun meningkat dan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pun meningkat. Hal ini
sangat berpengaruh kepada kualitas kehidupan masyarakat. Rakyat Indonesia
sebagian besar masuk ke dalam sebuah era demokrasi sesungguhnya dimana pada
saat yang sama tingkat kehidupan ekonomi mereka justru tidak lebih baik
dibandingkan masa orde baru.
Indonesia sudah melalui 4 zaman demokrasi yaitu :
a) Demokrasi Liberal (1950 – 1959)
Pertama kali Indonesia menganut system demokrasi
parlementer, yang biasa disebut dengan demokrasi liberal. Masa demokrasi
liberal membawa dampak yang cukup besar, mempengaruhi keadaan, situasi dan kondisipolitik pada waktu itu. Di Indonesia demokrasi liberal yang berjalan dari
tahun 1950 - 1959 mengalami perubahan-perubahan kabinet yang
mengakibatkan pemerintahan menjadi tidak stabil. Pada waktu itu,
pemerintah berlandaskan UUD 1950 pengganti
konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun 1949.
Ciri-ciri demokrasi liberal adalah sebagai berikut :
2. Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah.
3. Presiden bisa dan berhak membubarkan DPR.
Daftar kabinet yang ada di Indonesia selama masa
semorasi liberal :
1. Kabinet Natsir (September 1950 – Maret 1951)
2. Kabinet Sukiman (April 1951 – April 1952)
3. Kabinet Wilopo (April 1952 – Juni 1953)
4. Kabinet Ali Sastroamijoyo 1 (Juli 1953 – Agustus 1955)
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955 – Maret 1956)
b) Demokrasi Terpimpin (1959 – 1966)
Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang
sempat ada di Indonesia, yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada
pemimpinnya saja.
Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi
terpimpin oleh Presiden Soekarno :
1. Dari segi keamanan : Banyaknya gerakan sparatis
pada masa demokrasi liberal, menyebabkan ketidak stabilan di bidang keamanan.
2. Dari segi perekonomian : Sering terjadinya
pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal menyebabkan program-program yang
dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan
ekonomi tersendat.
3. Dari segi politik : Konstituante gagal dalam
menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950
Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden
Soekarno diawali oleh anjuran beliau agar Undang-Undang yang digunakan untuk
menggantikan UUDS 1950 adalah UUD'45. Namun usulan itu menimbulkan pro dan
kontra di kalangan anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya,
diadakan voting yang diikuti oleh seluruh anggota konstituante . Voting ini
dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul dari pro kontra akan
usulan Presiden Soekarno tersebut.
Hasil voting menunjukan bahwa :
Ø 269 orang setuju untuk kembali ke
UUD'45
Ø 119 orang tidak setuju untuk kembali
ke UUD'45
Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke
UUD'45 tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota
konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3 bagian, seperti
yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950.
Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno
mengeluarkan sebuah dekrit yang disebut Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 :
1. Tidak berlaku kembali UUDS 1950
2. Berlakunya kembali UUD 1945
3. Dibubarkannya konstituante
4. Pembentukan MPRS dan DPAS
c) Demokrasi Pancasila
Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional
dengan mekanisme kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan
penyelengaraan pemerintahan berdasarkan konstitusi yaitu Undang-undang Dasar
1945. Sebagai
demokrasi pancasila terikat dengan UUD 1945 dan pelaksanaannya harus sesuai
dengan UUD
1945.
Ciri – cirri demokrasi pancasila :
Ø Kedaulatan ada di tangan rakyat.
Ø Selalu berdasarkan kekeluargaan dan
gotong royong.
Ø Cara pengambilan keputusan secara
musyawarah untuk mencapai mufakat.
Ø Tidak kenal adanya partai
pemerintahan dan partai oposisi
Ø Diakui keselarasan antara hak dan
kewajiban
Ø Menghargai Hak Asasi Manusia
Ø Ketidaksetujuan terhadap
kebijaksanaan pemerintah dinyatakan dan disalurkan melalui wakil-wakil rakyat.
Tidak menghendaki adanya demonstrasi dan pemogokan karena merugikan semua pihak
Ø Tidak menganut sistem monopartai
Ø Pemilu dilaksanakan secara luber
Ø Mengandung sistem mengambang
Ø Tidak kenal adanya diktator mayoritas
dan tirani minoritas
Ø Mendahulukan kepentingan rakyat atau
kepentingan umum
System pemerintahan Demokrasi Pancasila sebagai berikut
Ø Indonesia ialah negara yang
berdasarkan hukum
Ø Indonesia menganut sistem
konstitusional
Ø Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi
Ø Presiden adalah penyelenggaraan
pemerintah yang tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Ø Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR)
Ø Menteri Negara adalah pembantu
presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR
Ø Kekuasaan Kepala Negara tidak tak
terbatas
d) Demokrasi yang saat ini masih dalam
masa transisi
2.3 CONTOH PROBLEMATIKA
DI INDONESIA
A. Ekonomi
Rakyat dan masalah Demokrasi
Debat tentang Ekonomi Rakyat sedang mendominasi
jagad politik ekonomi Indonesia. Debat tersebut dipicu oleh masing-masing kubu
pasangan dan tim sukses calon Presiden/Wakil Presiden yang mengklaim diri
sebagai pasangan yang paling ber-trade mark Ekonomi Rakyat, walau dengan
kemasan yang berbeda. Pasangan JK-Wiranto mengklaim diri sebagai pasangan
pro Ekonomi Rakyat yang berporos pada kemandirian ekonomi. Yakni ekonomi yang
digerakkan oleh modal dan sumber daya dalam negeri. Ekonomi yang lebih pro kepada
pasar tradisional daripada pasar modern, serta melindungi, mengedepankan, dan
bangga dengan produk-produk dalam negeri.
Pasangan SBY-Budiono mengklaim diri sebagai pasangan pendukung Ekonomi Rakyat yang berpihak kepada rakyat kecil (grass root). Ekonomi yang pro kepada koperasi, dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta bentuk usaha-usaha ekonomi rakyat lainnya. Sementara pasangan Megawati-Parabowo mengklaim diri sebagai pasangan pro Ekonomi Rakyat yang berbasis pada kedaulatan ekonomi. Ekonomi yang digerakkan oleh kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan pasar (neoliberalisme). Ekonomi yang pro kepada petani, buruh, dan kelompok marginal lainnya serta ditujukan untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Pasangan ini bahkan berani menjanjikan pembukaan jutaan lapangan kerja untuk rakyat bila kelak mereka berkuasa.
Pasangan SBY-Budiono mengklaim diri sebagai pasangan pendukung Ekonomi Rakyat yang berpihak kepada rakyat kecil (grass root). Ekonomi yang pro kepada koperasi, dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta bentuk usaha-usaha ekonomi rakyat lainnya. Sementara pasangan Megawati-Parabowo mengklaim diri sebagai pasangan pro Ekonomi Rakyat yang berbasis pada kedaulatan ekonomi. Ekonomi yang digerakkan oleh kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan pasar (neoliberalisme). Ekonomi yang pro kepada petani, buruh, dan kelompok marginal lainnya serta ditujukan untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Pasangan ini bahkan berani menjanjikan pembukaan jutaan lapangan kerja untuk rakyat bila kelak mereka berkuasa.
B. Debat minus Esensi
Sepintas debat Ekonomi Rakyat memang menarik.
Sebab konsep yang digagas ketiga pasangan calon, apalagi ditopang dengan
performance, tutur bahasa, dan gaya komunikasi yang provokatif, memang seolah
terlihat berbeda. Yang satu terlihat menganut Ekonomi Rakyat ’kiri’, sementara
pasangan yang lain lebih menganut Ekonomi Rakyat ’kiri tengah’ dan Ekonomi
Rakyat ’kanan tengah’. Namun bila dicermati lebih mendalam konsepsi dan
platform Ekonomi Rakyat dari ketiga pasangan ini sejatinya tidak menunjukkan
signifikansi dan kedalaman. Platform Ekonomi Rakyat ketiga pasangan
sesungguhnya masih teramat dangkal. Ekonomi Rakyat dipahami dan dimaknai
teramat normatif, tidak substantif.
Singkatnya, gagasan dan konsepsi Ekonomi Rakyat dari ketiga pasangan sesungguhnya tidak memiliki differensiasi (nilai pembeda). Itu artinya debat yang terjadi, dan kemudian makin meluas menjadi pro kontra di tengah publik, sejatinya adalah debat minus esensi dan substansi. Sebab esensi dan substansi dari sebuah debat adalah kedalaman diffrensisasi dari gagasan/topik yang diperdebatkan. Bukan pada hingar bingar perdebatan yang terjadi. Tanpa diffrensiasi gagasan, sebuah debat sebenarnya tak lebih dari sekedar debat kusir. Debatnya ramai dan panas namun kehilangan konteks dan relevansi untuk masuk ke akar masalah sulitnya perwujudan Ekonomi Rakyat di republik ini.
Singkatnya, gagasan dan konsepsi Ekonomi Rakyat dari ketiga pasangan sesungguhnya tidak memiliki differensiasi (nilai pembeda). Itu artinya debat yang terjadi, dan kemudian makin meluas menjadi pro kontra di tengah publik, sejatinya adalah debat minus esensi dan substansi. Sebab esensi dan substansi dari sebuah debat adalah kedalaman diffrensisasi dari gagasan/topik yang diperdebatkan. Bukan pada hingar bingar perdebatan yang terjadi. Tanpa diffrensiasi gagasan, sebuah debat sebenarnya tak lebih dari sekedar debat kusir. Debatnya ramai dan panas namun kehilangan konteks dan relevansi untuk masuk ke akar masalah sulitnya perwujudan Ekonomi Rakyat di republik ini.
C. Ekonomi
Rakyat dan Demokrasi
Debat kusir Ekonomi Rakyat terjadi karena debat
tersebut menegasikan satu esensi terpenting dari gagasan Ekonomi Rakyat, yakni
demokrasi. Walau dalam beberapa kesempatan menyinggung demokrasi namun secara
umum ketiga pasangan calon Presiden/Wakil Presiden tidak secara serius melihat
relevansi demokrasi dengan Ekonomi Rakyat. Ini tentu saja ironis, karena
konstitusi UUD 1945 dengan jelas berkata, Ekonomi Rakyat adalah praktik yang
hidup dalam sistem politik dan ekonomi yang demokratis (sistem ekonomi
kerakyatan), yang memungkinkan pengelolaan sumber daya alam digunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan penguasaan cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dilakukan oleh
negara (pasal 33 UUD 1945).
Walau tidak secara defenitif, amanat konstitusi tersebut secara implisit menegaskan bahwa demokrasi (ekonomi dan politik) adalah prinsip terpenting dan strategis dari upaya membangun Ekonomi Rakyat. Ekonomi Rakyat harus dibangun dalam bingkai demokrasi untuk pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar/hak asasi manusia (demokrasi substansial). Dalam pemaknaan tersebut, (pembangunan) Ekonomi Rakyat, mau tidak mau, mutlak membutuhkan politik negara. Bukan sekedar politik, tetapi politik yang demokratis. Meminjam Amartya Sen, ekonom India pemenang Nobel Ekonomi 1998, Ekonomi (Rakyat) membutuhkan demokrasi. Sebab demokrasilah yang menyediakan ruang untuk proteksi, koreksi, kritisi, dan kontrol terhadap (kebijakan) politik dan ekonomi, agar senantiasa berpusat pada rakyat.
Selain menjamin adanya kontrol, demokrasi juga memungkinkan negara menjadi kuat (strong state) sehingga mampu menjalankan prinsip Ekonomi Rakyat sebagaimana yang tercantum dalam pasal 33 UUD 1945. Demokrasi, yang menjamin akses dan kontrol rakyat terhadap kekuasaaan (demokrasi), memenungkinkan negara bisa berdaulat. Tanpa demokrasi, Ekonomi Rakyat yang ditawarkan pemimpin politik populis bisa melenceng menjadi Ekonomi Despotis. Tanpa demokrasi, janji dan retorika Ekonomi rakyat bisa lari menjadi Ekonomi Terpimpin yang Populis atau menjadi Ekonomi Pasar. Dengan kata lain demokrasi adalah conditio sine quo nun bagi perwujudan Ekonomi Rakyat. Demokrasi adalah esensi dari proyek implementasi Ekonomi Rakyat. Sebaliknya, demokrasi membutuhkan Ekonomi Rakyat. Ekonomi Rakyat adalah basis ekonomi dari politik pemenuhan hak asasi manusia. Ekonomi Rakyat adalah pintu dan jendela dari rumah demokrasi. Demokrasi yang dimaksud tentunya, meminjam Sukarno dan Hatta, adalah sosio demokrasi. Sebuah demokrasi yang adil dan mensejahterakan. Bukan demokrasi yang hanya membebaskan (demokrasi liberal).
Itu berarti upaya membangun dan memperkuat Ekonomi Rakyat tidak bisa lagi dilakukan dengan mengandalkan pendekatan politik jalan pintas mem-by- pass demokrasi. Pembangunan Ekonomi Rakyat tidak bisa lagi hanya mengandalkan pendekatan teknikal ekonomi ‘belas kasihan’ dari atas (from above) untuk memberdayakan ‘ekonomi rakyat’ di lapis bawah. Ekonomi Rakyat tidak bisa lagi sekedar komitmen klasik membuka jutaan lapangan kerja, mencintai produk dalam negeri, mendanai UMKM, dan menyantuni orang miskin. Lebih daripada itu, pembangunan Ekonomi Rakyat harus ber-landaskan (sosio) demokrasi.
Walau tidak secara defenitif, amanat konstitusi tersebut secara implisit menegaskan bahwa demokrasi (ekonomi dan politik) adalah prinsip terpenting dan strategis dari upaya membangun Ekonomi Rakyat. Ekonomi Rakyat harus dibangun dalam bingkai demokrasi untuk pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar/hak asasi manusia (demokrasi substansial). Dalam pemaknaan tersebut, (pembangunan) Ekonomi Rakyat, mau tidak mau, mutlak membutuhkan politik negara. Bukan sekedar politik, tetapi politik yang demokratis. Meminjam Amartya Sen, ekonom India pemenang Nobel Ekonomi 1998, Ekonomi (Rakyat) membutuhkan demokrasi. Sebab demokrasilah yang menyediakan ruang untuk proteksi, koreksi, kritisi, dan kontrol terhadap (kebijakan) politik dan ekonomi, agar senantiasa berpusat pada rakyat.
Selain menjamin adanya kontrol, demokrasi juga memungkinkan negara menjadi kuat (strong state) sehingga mampu menjalankan prinsip Ekonomi Rakyat sebagaimana yang tercantum dalam pasal 33 UUD 1945. Demokrasi, yang menjamin akses dan kontrol rakyat terhadap kekuasaaan (demokrasi), memenungkinkan negara bisa berdaulat. Tanpa demokrasi, Ekonomi Rakyat yang ditawarkan pemimpin politik populis bisa melenceng menjadi Ekonomi Despotis. Tanpa demokrasi, janji dan retorika Ekonomi rakyat bisa lari menjadi Ekonomi Terpimpin yang Populis atau menjadi Ekonomi Pasar. Dengan kata lain demokrasi adalah conditio sine quo nun bagi perwujudan Ekonomi Rakyat. Demokrasi adalah esensi dari proyek implementasi Ekonomi Rakyat. Sebaliknya, demokrasi membutuhkan Ekonomi Rakyat. Ekonomi Rakyat adalah basis ekonomi dari politik pemenuhan hak asasi manusia. Ekonomi Rakyat adalah pintu dan jendela dari rumah demokrasi. Demokrasi yang dimaksud tentunya, meminjam Sukarno dan Hatta, adalah sosio demokrasi. Sebuah demokrasi yang adil dan mensejahterakan. Bukan demokrasi yang hanya membebaskan (demokrasi liberal).
Itu berarti upaya membangun dan memperkuat Ekonomi Rakyat tidak bisa lagi dilakukan dengan mengandalkan pendekatan politik jalan pintas mem-by- pass demokrasi. Pembangunan Ekonomi Rakyat tidak bisa lagi hanya mengandalkan pendekatan teknikal ekonomi ‘belas kasihan’ dari atas (from above) untuk memberdayakan ‘ekonomi rakyat’ di lapis bawah. Ekonomi Rakyat tidak bisa lagi sekedar komitmen klasik membuka jutaan lapangan kerja, mencintai produk dalam negeri, mendanai UMKM, dan menyantuni orang miskin. Lebih daripada itu, pembangunan Ekonomi Rakyat harus ber-landaskan (sosio) demokrasi.
D. Sengkarut Demokratisasi
Masalahnya, walau sudah berlangsung lebih dari
satu dekade, demokratisasi (ekonomi dan politik) Indonesia bukan hanya liberal
tetapi juga sedang sengkarut. Demokratisasi, dalam wujud liberalisasi politik,
memang berlangsung luar baisa namun belum mampu menghasilkan haluan politik dan
ekonomi negara yang yang lebih pro rakyat. Tidak seperti yang dibayangkan
sebelumnya, demokrasi ternyata juga tidak serta merta membuat negara makin kuat
untuk menjalankan peran dan fungsinya memenuhi political goods. Singkatnya
demokratisasi belum berhasil menumbuhkan Ekonomi Rakyat. Hal itu disebabkan
beberapa hal. Pertama, demokrasi Indonesia tengah digerogoti oleh shadow
states, yaitu kekuatan di luar negara—pasar– yang menggantikan fungsi negara
dengan cara menggunakan/ memanipulasi/ mencuri otoritas otentik negara.
Akibatnya, demokrasi gagal menjadi ‘ruang netral’ bagi terjadinya relasi politik
yang setara antara Negara, Pasar, dan Rakyat. Pasar politik lebih dikendalikan
pasar uang daripada suara rakyat.
Kedua, mal-fungsi kelembagaan politik. Institusi dan instrumen demokrasi (parpol, eksekutif, dan legislatif), di level nasional dan lokal, memang tumbuh namun alih-alih bekerja untuk kepentingan rakyat mereka justru bekerja untuk kepentingan elit oligarkis. Kultur politik oligarkis dan feodalis, yang masih mengakar kuat di kalangan politisi kita, menggerogoti kelembagaan politik yang ada. Hal ini menyebabkan terjadinya korupsi politik. Politik tidak lagi bekerja untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan elit. Ketiga, demokratisasi birokrasi yang tersendat. Demokrasi belum menjadikan birokrasi sepenuhnya otonom dari pengaruh kepentingan politik (partai). Ini menyebabkan birokrasi gagal bekerja secara penuh melayani publik. Birokrasi kita masih cenderung bermental penguasa (melayani elit) daripada sebagai pelayan publik.
Keempat, massifikasi demokrasi prosedural. Terjadi penyelenggaraan prosedur demokrasi (Pemilu/Pilkada dan Musrenbang) yang luar biasa namun tidak disertai dengan perubahan struktur dan relasi politik kekuasaan. Akibatnya prosedur, mekanisme dan instrumen tersebut cenderung hanya menjadi proforma. Ia menjadi upacara yang membuka ruang mobilisasi dan partisipasi, tetapi tidak mengubah relasi politik antara penguasa dan rakyat semakin setara. Sepintas prosedur dan mekanisme itu memang demokratis, namun kalau mau jujur mindset-nya sebenarnya masih menggunakan pendekatan lama yang mengandalkan mobilisasi dan teknokrasi.
Kelima, demokrasi didominasi arus informasi assymetrical (tidak berimbang/tidak setara). Aktor dan institusi politik jauh lebih memiliki informasi yang lengkap berkaitan dengan kepentingan dan kebijakan politik, dibanding rakyat sebagai pemegang kadaulatan. Akibatnya ruang demokrasi lebih didominasi dan dihegemoni kalangan menengah, bukan masyarakat di lapis bawah. Keenam, demokrasi belum disertai dengan menguatnya konsolidasi masyarakat sipil. Implikasinya, alih-alih semakin kuat, negara justru semakin tersudut penetrasi Pasar (modal) karena tidak mendapatkan supporting politik yang berarti dari masyarakat sipil.
Kedua, mal-fungsi kelembagaan politik. Institusi dan instrumen demokrasi (parpol, eksekutif, dan legislatif), di level nasional dan lokal, memang tumbuh namun alih-alih bekerja untuk kepentingan rakyat mereka justru bekerja untuk kepentingan elit oligarkis. Kultur politik oligarkis dan feodalis, yang masih mengakar kuat di kalangan politisi kita, menggerogoti kelembagaan politik yang ada. Hal ini menyebabkan terjadinya korupsi politik. Politik tidak lagi bekerja untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan elit. Ketiga, demokratisasi birokrasi yang tersendat. Demokrasi belum menjadikan birokrasi sepenuhnya otonom dari pengaruh kepentingan politik (partai). Ini menyebabkan birokrasi gagal bekerja secara penuh melayani publik. Birokrasi kita masih cenderung bermental penguasa (melayani elit) daripada sebagai pelayan publik.
Keempat, massifikasi demokrasi prosedural. Terjadi penyelenggaraan prosedur demokrasi (Pemilu/Pilkada dan Musrenbang) yang luar biasa namun tidak disertai dengan perubahan struktur dan relasi politik kekuasaan. Akibatnya prosedur, mekanisme dan instrumen tersebut cenderung hanya menjadi proforma. Ia menjadi upacara yang membuka ruang mobilisasi dan partisipasi, tetapi tidak mengubah relasi politik antara penguasa dan rakyat semakin setara. Sepintas prosedur dan mekanisme itu memang demokratis, namun kalau mau jujur mindset-nya sebenarnya masih menggunakan pendekatan lama yang mengandalkan mobilisasi dan teknokrasi.
Kelima, demokrasi didominasi arus informasi assymetrical (tidak berimbang/tidak setara). Aktor dan institusi politik jauh lebih memiliki informasi yang lengkap berkaitan dengan kepentingan dan kebijakan politik, dibanding rakyat sebagai pemegang kadaulatan. Akibatnya ruang demokrasi lebih didominasi dan dihegemoni kalangan menengah, bukan masyarakat di lapis bawah. Keenam, demokrasi belum disertai dengan menguatnya konsolidasi masyarakat sipil. Implikasinya, alih-alih semakin kuat, negara justru semakin tersudut penetrasi Pasar (modal) karena tidak mendapatkan supporting politik yang berarti dari masyarakat sipil.
E. Memperkuat Demokrasi
Celakanya, upaya untuk mereformasi dan
merestorasi demokrasi agar semakin bermakna dan berkedaulatan rakyat, tampaknya
justru tidak menjadi core issue dari ketiga kubu pasangan calon Presiden/Wakil
Presiden ketika membicarakan Ekonomi Rakyat. Mereka tidak memberi perhatian
serius pada upaya reformasi sistem kepartaian, memperbaiki mekanisme
perencanaan pembangunan, me-review desentralisasi politik, mereformasi
birokrasi, dan memperkuat masyarakat sipil. Padahal kalau dicermati, semua
kendala dan problematika yang tengah kita hadapi sebagai bangsa, mulai dari
mandegnya Ekonomi Rakyat, kemiskinan, korupsi, pelanggaran HAM, sampai dengan
masih berlangsungnya praktik marginalisasi hak-hak minoritas, mengakar pada
demokrasi yang sedang sengkarut.
Debat seputar Ekonomi Rakyat seharusnya menukik membongkar problem demokratisasi Indonesia. Para capres/cawapres dan masing-masing tim sukses dan pendukungnya seharusnya berdebat bagaimana mengatasi dan membenahi sengkarut demokrasi, bukan ’berbuih’ berdebat sejuta permasalahan teknis Ekonomi Rakyat. Benar, debat dan perbicangan terntang problem demokrasi bisa jadi dinilai terlampau umum dan absurd, serta tidak membumi. Namun jangan salah, seperti sudah disinggung sebelumnya, walau ’melangit’ isu demokrasi adalah prinsip terpenting bagi upaya membangun Ekonomi Rakyat. Kalau demikian, pertanyaannya adalah apa penyebab ketiga pasangan calon Presiden tidak menyinggung isu penguatan demokrasi dalam pembicaraan Ekonomi Rakyat? Ada 3 kemungkinan jawabnya. Pertama, ketiganya mungkin hanya memahami konsep Ekonomi Rakyat secara parsial, tidak holistik. Kedua, ketiganya mungkin adalah pemimpin yang bertipe jalan pintas. Ingin men-drive Ekonomi Rakyat secara tergesa-gesa. Ketiga, jangan-jangan ketiganya sesungguhnya adalah penganut ekonomi pasar (neoliberalisme). Sebab penganut neoliberalisme mindset-nya memang gemar membicarakan hal-hal yang bersifat teknikal dan membangun demokrasi prosedural namun ogah membicarakan hal-hal prinsipil dan membangun demokrasi substansial.
Debat seputar Ekonomi Rakyat seharusnya menukik membongkar problem demokratisasi Indonesia. Para capres/cawapres dan masing-masing tim sukses dan pendukungnya seharusnya berdebat bagaimana mengatasi dan membenahi sengkarut demokrasi, bukan ’berbuih’ berdebat sejuta permasalahan teknis Ekonomi Rakyat. Benar, debat dan perbicangan terntang problem demokrasi bisa jadi dinilai terlampau umum dan absurd, serta tidak membumi. Namun jangan salah, seperti sudah disinggung sebelumnya, walau ’melangit’ isu demokrasi adalah prinsip terpenting bagi upaya membangun Ekonomi Rakyat. Kalau demikian, pertanyaannya adalah apa penyebab ketiga pasangan calon Presiden tidak menyinggung isu penguatan demokrasi dalam pembicaraan Ekonomi Rakyat? Ada 3 kemungkinan jawabnya. Pertama, ketiganya mungkin hanya memahami konsep Ekonomi Rakyat secara parsial, tidak holistik. Kedua, ketiganya mungkin adalah pemimpin yang bertipe jalan pintas. Ingin men-drive Ekonomi Rakyat secara tergesa-gesa. Ketiga, jangan-jangan ketiganya sesungguhnya adalah penganut ekonomi pasar (neoliberalisme). Sebab penganut neoliberalisme mindset-nya memang gemar membicarakan hal-hal yang bersifat teknikal dan membangun demokrasi prosedural namun ogah membicarakan hal-hal prinsipil dan membangun demokrasi substansial.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pengalaman masa lalu bangsa kita,
kelihatan bahwa demokrasi belum membudaya. Kita memang telah menganut demokrsai
dan bahkan telah di praktekan baik dalam keluarga, masyarakat, maupun dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, kita belum membudayakannya.
Membudaya berarti telah menjadi kebiasaan yang
mendarah daging. Mengatakan “Demokrasi telah menjadi budaya” berarti
penghayatan nilai-nilai demokrasi telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging
di antara warga negara. Dengan kata lain, demokrasi telah menjadi bagian yang
tidak dapat dipisah-pisahkan dari kehidupanya. Seluruh kehidupanya diwarnai
oleh nilai-nilai demokrasi.
Namun, itu belum terjadi. Di media
massa kita sering mendengar betapa sering warga negara, bahkan pemerintah itu
sendiri, melanggar nilai-nilai demokrasi. Orang-orang kurang menghargai
kebabasan orang lain, kurang menghargai perbedaan, supremasi hukum kurang
ditegakan, kesamaan kurang di praktekan, partisipasi warga negara atau orang
perorang baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan pilitik belum
maksimal, musyawarah kurang dipakai sebagai cara untuk merencanakan suatu
program atau mengatasi suatu masalah bersama, dan seterusnya. Bahkan dalam
keluarga dan masyarakat kita sendiri, nilai-nilai demokrasi itu kurang di
praktekan.
Pada intinya demokrasi adalah persamaan hak dan kedudukan dari setiap
warga negara di dalam sebuah negara yang demokratis. Demokrasi harus ditegakkan
dalam berbagai bidang, yakni demokrasi politik, demokrasi ekonomi, demokrasi
hukum dan demokrasi pjendidikan. Sedang inti demokrasi itu sendiri adalah
keadilan. Demokrasi yang sesungguhnya adalah demokrasi tanpa embel-embel
dibelakangnya, karena tiga macam denokrasi yang diterapkan di indonesia
ternyata gagal. Dengan demikian, demokrasi dalam arti universal dan
komprehensif dapat diciptakan melalui tegaknya keadilan politik, keadilan
ekonomi, keadilan sosial dan keadilan hukum.
3.2 SARAN
Mewujudkan budaya demokrasi memang
tidak mudah. Perlu ada usaha dari semua warga negara. Yang paling utama, tentu
saja, adalah:
1. Adanya niat untuk memahami nilai-nilai
demokrasi.
2. Mempraktekanya secara terus menerus, atau
membiasakannya.
Memahami nilai-nilai demokrasi memerlukan
pemberlajaran, yaitu belajar dari pengalaman negara-negara yang telah
mewujudkan budaya demokrasi dengan lebih baik dibandingkan kita.
Dalam
usaha mempraktekan budaya demokrasi, kita kadang-kadang mengalami kegagalan
disana-sini, tetapi itu tidak mengendurkan niat kita untuk terus berusaha
memperbaikinya dari hari kehari. Suatu hari nanti, kita berharap bahwa
demokrasi telah benar-benar membudaya di tanah air kita, baik dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
copas dikit ya
BalasHapusSangat membantu
BalasHapusGood
BalasHapus