Rabu, 28 Maret 2012

MAKALAH PENDIDIKAN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

            Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeksi Pembangunan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan , kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukan , bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Diantara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
            Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada dibawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang di survei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia yang berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di duia.
Memasuki abad-21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu  pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Peraasaan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
            Salah satunya adalah memasuki abad ke-21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajuan teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada ditengah-tengah dunia yang baru,dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang  adalah adanya ketertinggalan di dalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
            Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peringkat mutu pendidikan di indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya manusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan uutuk memenuhi pembangunan  bangsa di berbagai bidang.
            Kualitas Pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP). Dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia yang mendapat pengakuan dalam kategori The Diploma Program(DP).

            Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah Efektivitas, Efisien dan Standarisasi Pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidika di Indonesia pada umumnya. Adapun permasaalah khusus dalam dunia pendidikan, yaitu :

1). Rendahnya sarana fisik,
2). Rendahnya kualitas guru,
3). Rendahnya kesejahteraan guru,
4). Rendahnya prestasi siswa,
5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan pendidikan,
7). Mahalnya biaya pendidikan.

            Permasalahan-permasahan yang tersebut diatas akan menjadi bahan bahasa dalam makalah yang berjudul “Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia “ini.



B. Rumusan masalah
1.      Bagaimana ciri-ciri pendidikan di indonesia?
2.      Bagaimana kualitas di Indonesia?
3.      Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
4.      Bagaimana solusi yang dapat di berikan dari permasalahan-permasalahan di Indonesia?


C . Tujuan penulisan
1.      Mendeskripsiksn ciri-ciri pendidikan di Indonesia .
2.      Mendeskripsikan kualitas pendidikan di indinesia saat ini.
3.      Medeskripsikan hal-hal solusi yang diberikan dari permasalahan-permasalahan pendididkan indonesia


D. Manfaat Penulisan
1.      Bagi pemerintah
 BIsa dijadikan sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
2.      Bagi Guru
Bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengajar agar para peserta didiknya dapat berprestasi lebih baik di masa yang akan datang.
3.      Bagi Mahasiswa
Bisa dijadikan sebagai bahan kajian pelajaran dalam rangka meningkatkan prestasi diri pada khususnya dan meningkatkan kualitas pendididkan padaa umumnya.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ciri-Ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanaakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas daari tujuan pendididkan di Indonesia, sebab pendidikan indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, Melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kebutuhan beragama di asrama-asrama,lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan-pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan disekolah-sekolah atau perguruan tinggi melalui bidang studi-studi yag mereka pelajari. Pikiran para siswa atau mahaiswa di asah,melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah menganalisis sesuatu peserta menyimpulkannnya.
B.    Kualitas pendidikan Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-Guru tentunya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang,guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan.  Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi pendudk di daerah terbelakang.Namun, bagi penduduk daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar di pakai untuk hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa paada umumnya, diantara lain guru dan sekolah.
“pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,”kata presiden susilo bambang yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di gedung depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin 12/3/2007.
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan di lakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di indonesia, antara lain yaitu:
·         Langkah pertama yang akan di lakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
·         Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
·         Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusa dalam ujian nassional.
·         Langkah keempat, pemerintah akan menambahkan jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang di butuhkan.
·         Langkah kelima, pemerintah membangun infrastruktur seperti menambahkan jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
·         Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini di anggarkan Rp 44 Triliun.
·         Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
·         Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas pendidikan.





C.    Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan di uraikan beberapa penyebab rendahnya pendidikan di indonesia secara umum, yaitu:
1.      Efektifitas Pendidikan di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memugkinkan peserta pendidik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujua sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidikan (dosen,guru,instruktur dan trainer) ditutut untuk dapat meningkatkan ke efektifan pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di indonesia sangat rendah setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebab adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran di laksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidikan tidak tahu “ gol “ apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpentingnya jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tau apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal di nilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelanjaan formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat di anggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan di bidangnya masing-masing dan di harapkan dapat mengambil pendidikan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya di anggap hebat oleh orang lain.
          Dalam pendidikan di sekolah menengah misalnya, seorang yang mempunyai kelebihan di bidang sosial dan di paksa mengikuti program study IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika di bandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan program dan minatnya. Hal-hal seperti itulah yang banyak terjadi di indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di indonesia.
2.      Efisiensi Pengajaran di indonesia
          Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
          Beberapa masalah efisiensi pengajaran di indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang di gunakan dalam proses pendidikan, mutu pengajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia yang lebih baik.
          Masalah mahalnya pendidikan di indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di indonesia relative lebih rendah jika kita bandingkan dengan negara lain yang tidak mengambil sistem freecost education. Namun mengapa kita mengganggap pendidikan di indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan  disini jika penghasilan rakyat indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidikan.
          Jika kita berbicara masalah biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tentang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang di pilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang di tempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah di berlakukan pembebasan biaya pengajaran, namun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagai nya.
          Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan lapangan tatap muka di indonesia relative lebih lama jika di bandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal seperti les akademik, bahasa, dan sebagainya. Jelas terlihat bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif, karena peerta didik akhirnya meni]gikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal di nilai kurang.
          Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang di harapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
          Kurangnya Mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun dia mengajar keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. H al tersebut benar-benar jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebenarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah di mengerti dan membuat tertarik peserta didik.
          Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di indonesia. Sangat di sayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
          Dalam beberapa tahun ini kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang mengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum lain nya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang di anggap kurang efektif lalu menggantinya dengan kurikulum yang di nilai lebih efektif.
          Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang di inginkan dapat di hasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi Teknologis di terapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara Efisiensi Ekonomis tercapai jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
          Konsep Efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisien karena tingkat efisiensi berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harga nya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upayapencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.

3.      Standarisasi Pendidikan di Indonesia
          Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di indonesia, kita juga berbicara tentang standarisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang di ambil.
          Dunia pendidikan terus berubah. Kompetisi yang di butuhkan oleh masyarakat terus-menerus berubah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam era globalisasi. Kompetisi-kompetisi yang harus di miliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
          Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetisi dalam pendidikan formal maupan informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetisi. Kualitas pendidikan diukur oleh standar dan kompetisi di dalam berbagai versi. Demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standarisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
          Tinjauan terhadap standarisasi dan kompetisi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengungkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekang oleh standar kompetisi saja.
          Hal seperti diatas sangat di sayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlaluuuuuu menuntun standar kompetisi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mut pendidikan di indonesia.
          Selain ituu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu mejadi kontrofersi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN suudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya pesreta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalui peserta didik yang telah menempuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlangsung sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah diikuti peserta didik.
          Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan standarisasi pengajaran di indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuuuuuukan penelitian yang lebih dalam lagi.
          Penyebab rendahnya mutu pendidikan di indonesia juga tentuuuuu tidak hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak yang menyebabkan rendahnya mut pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetahui akar permasalahannya, kita dapat memoerbaiki mutu pendidikan di indonesia sehingga menjadi lebih baik lagi.

              Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan diatas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di indonesia.
1.      Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
             Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedung rusak, kepemilikan dan penggunan media belajar rendah, buku perpustakan yang tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya.
             Data balitbang depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluru ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau  42,12% berkondisi baik, 299.582 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat kalau kondisi MI diperhitugkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk dari pada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA dan SMK meskipun dengan presentase yang tidak sama.

2.      Rendahnya kualitas guru
             Keadaan guru di indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadahi untuk menjalankan tugasnya sebagai mana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanaakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian , dan melakukan pengabdian masyarakat.
             Bukan itu saja, sebagian guru di indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Presentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 diberbagai satua pendidikan sebagai berikut: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), utuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
             Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) meujukan dari sekitar 1,2 juta guru SD atau MI haya 13,08% yang berpendidikan diploma,D2- kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP atau MTs baru 38,08% yang berpendidikan diploma D3- kependidikan ketas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, 57,08% yang memiliki pendidikan S1 keatas. Ditingkat pendidikan tinggi , dari 181.544 dosen baru 18,86% yang berpendidikan S2 keatas (3,48% berpendidikan S3)
             Walaupun guru dan pengajar bukan satuu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik central pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar meberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggug jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga di pengarui oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.

3.      Rendahnya kesejahteraan Guru
             Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (federasi Guru Imdependen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan sebesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar RP 1,5 juta. Guru bantu Rp 406 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp. 10 ribu per jam. Dengan pendapaatan seperti itu tsrang saja banyak guru terpaksa melakuakan pekerjaan sampingan . ada yang mengajar lagi disekolah lain, memberi les padaa sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buk/LKS, pedagang pulsa ponsel dan sebagainya (repulika 13 juli 2005) .
             Dengan adanya UU guru dan dosen, barang kali kesejahteraan gur dan dosen atau PNS agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah menjadi jaminan kelayakan hidup dalam pasal itu di sebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan provesi atau tunjangan khusus, serta tunjangan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat Pemkot/Pemkab bagi daerah khusus jugaa berhak atas rumah dinas.
             Tapi,kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negri menjadi masalah lain yang muncul di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai tarap ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 januari 2006, sebanyak 70% dari 403 PTS di jawa barat dan Banten tidak sangggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen. Pikiran Rakyat 9 januari 2006.
4.      Rendahnya prestasi siswa
             Dengan keadaan yang demikian (rendahnya sarana fisik,kualitas guru,dan kesejahteraan guru). Pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends mathematic and Science Study (TIMSS) 2003(2004), siswa indonesia hanya berada di rangking ke 35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di rangking 37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa di bawah siswa malaysia dan singapura sebagai tetangga yang terdekat.
             Dalam hal ini prestasi 15 september 2004 lalu united nations for Development programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil study tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahu ii di Indonesia haya mendukungi posisi ke 111 dari 177 negara apabila dibidangi dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh dibawahnya.
Dalam skala internasional, menurt laporan bank dunia (Graeny, 1992), studi IEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menuujukkan bahwa keterlampilan membaca siswa kelas VI SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca utuk siswa SD: 75,5% (Hongkong), 74,0% (Singapura), 65,1% (Thailand), 52,6% (Filipina), dan 51,7% (Indonesia).
             Anak-anak indonesia ternyata hanya mampu 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal – soal beberapa uraian yang memerlukan penalaran.Hal ini muugkin mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
             Selain itu,hasil studi The Third International Mathematic and Science Study Repeat-TIMSS-R,1990(IEA,1999) memperlihatkan bahwa,di antara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kls 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA,ke-34 untuk matematika.Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia week dari 77 universitas yang di survai di Asia pasifik ternyata 4 Universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61,ke-68,ke-73 dan ke-75.
5.      Kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan
             Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat sekolah dasar. Data Balitbank Depatemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jendral Binbaga Depatemen Agama Tahun 2000 menunjukan angka pertisipasi murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta jiwa siswa). Pencapaian APM ini termasuk kata gori tinggi. Angka partisipasi murni pendidikan di SLTP masih renda yaitu 54,8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembagan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu di perlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidak meretaan tersebut.

6.      Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
             Hal tersebut dapat di lihat dari banyaknya lulusan yang meganggur. Data BAPPENAS (1996) yang di kumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran yang terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/SO sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6% sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kessempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,7%. Menurut data balitbang DEPDIKNAS 1999, setiap tahunya 3juta anak puuutus sekkolah dan tidak memiliki ketrampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan  dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.

7.      Mahalnya Biaya Pendidikan
             Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat utuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
             Untuk masuk TK dan SD saja ini dibutuhkan biaya Rp 500.000,- sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
             Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/ Dewan Pendidikan yang meruuuupakan orga MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
             Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasinya, setelah komite sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok,”sesuai keputusan komite sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih sebagai pengurs dan anggota komite sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legimitator kebijakan kepala sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
             Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun beruubah menjadi Badan Huuukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
             Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan oembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahun nya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana Pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
             Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan uutuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN. Rencana pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peratura, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang pendidikan Dasar dan Menengah,RPP tentang Wajib Belajar. Pungutan pada Privatisasi pendidikan itu misalnya terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dana atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
             Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ),Yanthi Mukhtar (Rebuplika,10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
             Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan meruupakan agenda Kapitalisme global yang telah di rancang sejak lama oleh negara- negara donor lewat bank dunia. Melalui Rancangan Udang-Udang Badan Hukm Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua Satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pandidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga Perguruan Tinggi.
             Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermut namu biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
             Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepat nya tidak harus murah atau gratis. Tetepi persoalannya siapa yang seharusa membayar? Pemerintahlah sebenarnya yang aberkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bahwa uutuk mendapatkan pendidikan bermutuu. Akan tetapi kenyataannya pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk “cuci tangan”.










D.   Solusi dari Permasalahan-Permasalahan Pendidikan di Indonesia

           Untuk mengatasi masalah-masalah diatas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
v Pertama,Solusi Sistematik, yakni solusi dengan menguuah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem oendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem Pendidikan di Indonesia sekaranh ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mahzab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka solusi untuk masalah yang ada, khussa yang menyangkut perihal pembiayaan seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan, berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapakan sistem pendidikan Islam dalam Atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam.  Mka sistem Kapitalis saat ini wajib dihentikan dan di ganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintahlah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
v Kedua, Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kuualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, di beri solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kualitas Pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas,efisiensi, dan standarisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan.
Masalah-masalah lainnya yang menjadi penyebabnya yaitu:
1)   Rendahnya sarana fisik
2)   Rendahnya kualitas guru
3)   Rendahnya kesejahteraan guru
4)   Rendahnya prestasi siswa
5)   Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan
6)   Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
7)   Mahalnya biaya pendidikan
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
                            
B. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan ke sistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus dilakukan bangsa indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutnya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia Internasional.

0 komentar:

Posting Komentar