IJTIHAD DAN IJMA’
I.
Tujuan Umum Dan Tujuan Khusus
Setelah mempelajari Bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memiliki pemahaman
dan pengetahuan tentang ijtihad sebagai sumber hukum islam yang ketiga.secara
praktis dan spesifik mahasiswa juga diharapkan mampu menjelaskan pengertian
ijtihad secara etimologis dan terminologis, mampu menyebutkan dan menjelaskan syarat-syarat dan hukum-hukum
ijtihad,mampu menyebutkan fungsi dan kedudukan ijtihad ,serta mampu
membandingkan perbedaan antara ijtihad dengan ijma”,qiys,istihsan,istihsab,dan maslahan mursalah.
II. Ijtihad
A. Pengertian
ijtihad
Ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan
yang berarti bersungguh-sungguh,rajin,giat. Sedangkan secara etimmologis ijtihad berarti
berusaha dengan sungguh-sungguh dengan mencurahkan tenaga dan pikiran untuk
menetapkan hukum syara’ dari suatu masalah yang bersumber pada Al-Qur’an dan
hadist.
Menurut imam al Ghajali ijtihad ialah mencurahkan seluruh kemampuan untuk
menetapkan hukum syara’ dengan jalan mengeluarkan hukum dari kitab dan
sunnah.Banyak masalah yang belum ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an maupun
As-sunnah,sehingga umat muslim diberi kebebasan untuk menggunakan daya pikirnya
dalam rangka manginterprestasi dan menentukan hukum yang belum ada dalam
Al-Qur’an maupun As-sunnah.
Dalam Q.S
An-nisa ayat 105 Allah menjelaskan bahwa “Sesungguhnya kami telah menurunkan
kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,supaya kamu mengadili antara manusia
dengan apa yang telah diwahyukan kepadamu”. Nabi muhammad saw juga bersabda
“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan jalan ijtihad,kemudian ia
benar,maka ia mendapatkan dua pahala. Namun bila ia menetapkan hukum dengan
jalan ijtihad namun salah, maka ia mendapatkan satu pahala”.
Tanpa ada
ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena
tidak ditemukan hukumnya didalam Al-qur’an dan Hadist.Misalnya tentang niat
shalat,para ulama sepakat bahwa shalat tidak sah tanpa ada niat.Hasil ijtihad
suatu masalah,antara satu mujtahid dengan mujtahid yang lain mungkin
berbeda.hal ini disebabkan oleh perbedaan sudut pandang ,berbedanya kondisi
masyarakat,dan berbedanya latar belakang disiplin pengetahuan yang
dimiliki.Seperti Mazhab Maliki dan Syafi’i menetapkan bahwa niat merupakan
rukun shalat.Sedangkan menurut Mazhab Hanafi dan Hambali menetapkan bahwa niat
merupakan salah satu syarat shalat.
Hasil ijthad
terhadap suatu masalah, antara satu mujtahid dengan mujtahid yang lain mungkin
berbeda. Disebabkan karena adanya perbedaan sudut pandang terhadap suatu
masalah yang dicarikan hukumnya, berbedanya kondisi masyarakat, dan berbedanya
latar belakang disiplin pengetahuan yang dimiliki.
B. Hukum
Ijtihad
Hukum ijtihad itu dapat
dikelompokkan menjadi;
·
Pardhu A’in untuk berijtihad apabila ada
permasalahan yang menimpa dirinya dan jika ditanyakan tentang suatu
permasalahan yang belum ada hukumnya.
·
Pardhu Kifayah untuk berijtihad jika
permasalahan yang dijukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya.
·
Sunnah apabila berijtihad terhadap permasalahan
yang baru, baik ditanya maupun tidak.
·
Haram apabila berijtihad terhadap permasalhan
yang sudah ditetapkan secara Qat’I, sehingga hasil ijtihad itu bertentangan
engan dalil syara.
C. Syarat-syarat Ijtihad
Muslim yang melakukan
ijtihad di sebut mujtahid, agar ijtihadnya dapat menjadi pegangan bagi umat,
seorang mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan. yusuf Al-qardawi (ahli
usul dan fikih), menjelaskan bahwa persyaratan pokok untuk menjadi mujtahid
adalah:
·
Memahami Al-qur’an dan asbabun nuzulnya
(sebab-sebab turunnya ayat-ayat Alqur’an ), serta ayat-ayat Nasikh (yang
menghapus hukum) dan Mansukh (yang dihapus)
·
Memahami hadits dan sebab-sebab wurudnya
(munculnya hadits-hadits), serta memahami hadits-hadits nasikh dan mansukh
·
Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang
bahasa arab
·
Mengetahui tempat-tempat ijmak
·
Mengetahui usul fikih
·
Mengetahui maksud-maksud syariat
·
Memahami masyarakat dan adat istiadatnya,
bersifat adil dan taqwa
Selain delapan syarat tersebut beberapa ulama menambahkan tiga syarat lagi ,
yaitu:
·
Mendalami ilmu Ushuluddin (ilmu tentang akidah
islam )
·
Memahami ilmu mantik (logika ),
·
Mengetahui cabang-cabang fikih
D. Tingkatan-Tingkatan mujtahid
Secara umum tingkatan
mujtahid dapat dikelompokkan menjadi;
· Mujtahid Mutlak atau mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang telah
memenuhi persyaratan ijtihad secara
sempurna dan ia melakukan ijtihad dalam berbagai hukum syara', dengan tanpa
terikat kepada mazhab apapun. (mujtahid
fard /perseorangan).
· Mujtahid
Muntasib, yaitu mujtahid yang memiliki
syarat-syarat ijtihad secara sempurna, tetapi dalam melakukan ijtihad dia
menggabungkan diri kepada suatu mazhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh
oleh mazhab tersebut.
· Mujtahid
Fil Mazahib, yaitu mujtahid yang dalam
ijtihadnya mengikuti kaidah yang digunakan oleh imam mazhabnya dan ia juga
mengikuti imam mazhabnya dalam masalah furu'. Terhadap masalah-masalah yang
belum ditetapkan hukumnya oleh imam mazhabnya, terkadang ia melakukan ijtihad
sendiri.
· Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang dalam menetapkan hukum suatu masalah berdasarkan
kepada hasil tarjih (memilih yang
lebih kuat) dari pendapat imam-imam mazhabnya.
E. Fungsi
Ijtihad dalam Islam
Fungsi ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu, yang tidak ditemukan
dalil hukumnya secara pasti di dalam A-lqur’an dan hadits.
Begitu pula dewasa ini, kehidupan dimulai
dari realita. Kita tidak mulai pembaruan dari teks, tidak dari agama, akidah
ataupun dari syari`at. Ini adalah metode Islam ketika kita mencermati metode
Asbab Al-nuzul (konteks sosial atau sebab-sebab turunnya wahyu), dan nasikh wa
al-mansukh (ayat yang menghapus dan ayat yang dihapus).
Asbab al-nuzul berarti memperhatikan dan
memprioritaskan realita atas teks, memperhatikan pertanyaan daripada jawaban.
Seperti ayat-ayat wa yas`alunaka `anil khamr (mereka bertanya kepadamu mengenai
khamer/minuman keras), wa yas`alunaka `anil mahid (menstruasi), wa yas`alunaka
`anil anfal.. dst. Maka dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwasannya
fungsi ijtihad dewasa ini ialah sebagai salah satu cara untuk menentukan hukum
islam yang tidak tercantum secara jelas dalm Al-Quran dan Al-Hadist.
F. Bentuk-Bentuk
Ijtihad
Ijtihad dibedakan
menjadi beberapa bentuk di antaranya adalah, ijma', qisy, istihsan istihsab, dan Maslahah Mursalah.
·
Ijma', yaitu kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu masalah yang tidak diterangkan dalam Al-Qur'an dan Hadist setelah
Rasulullah saw wafat , yang dilakukan dengan cara musyawarah.
·
Qiyas, yaitu menganalogi atau menyamakan permasalahan yang terjadi dengan masalah
lain yang sudah ada hukumnya karena ada kesamaan sifat atau alasan.
·
Istihsan, yaitu menetapkan suatu hukum suatu masalah yang tidak dijelaskan secara
rinci dalam Al-Qur'an dan Hadist, yang didasarkan atas kepentingan/kemaslahatan
umum.
·
Intiqai, yaitu ijtihad untuk memilih salah satu pendapat terkuat diantara beberapa
pendapat yang ada. Bentuknya adalah studi komparatif dengan meneliti
dalil-dalil yang dijadikan sebagai rujukan. Disebut juga ijtihad selektif.
·
Insyai, yaitu mengambi konklusi hukum baru terhadap suatu permasalahan yang belum
ada ketetapan hukumnya. Disebut juga ijtihad kreatif.
·
Istihsab, yaitu meneruskan berlakunya hukum yang telah ada dalil lain yang mengubah
hukum tersebut
·
Maslahah
mursalah, yaitu perkara yang perlu
dilakukan demi kemaslahatan sesuai dengan maksud syara' dan hukumnya tidak
diperoleh dari dalil secara langsung dan jelas.
III.
Ijma’
A.
Pengertian
Ijma’
Ijma’ menurut bahasa adalah ”sepakat atas
sesuatu ”, sedangkan ijma’ secara istilah para ulama Ushul fiqh adalah
kesempakatan para mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa setelah
rasulullah wafat atas hukum syara’ pada peristiwa yang terjadi. Dalam difinisi
tersebut bahwa ijma’ baru akan terbentuk apabila ada kesepakatan dari para
ulama, dan waktunya sesudah wafat Nabi Muhammad karena pada masa Nabi masih
hidup ketetapan hukum langsung merujuk kepadanya akan tetapi setelah beliu
wafat harus ada kesepakan dari beberapa ulama.
B.
Rukun Ijma’
· Adanya
beberapa pendapat yang yang menjadi suatu masa tertentu
· Adanya
kesepakatan pendapat semua mujtahid dari kaum muslimin atas suatu hukum syara’
mengenai suatu perkara hukum pada waktu terjadinya tampa memandang tempat,
kebangsaan dan kelompok mereka
· Kesepakatan
pendapat itu nyata, baik berupa perkataan atau perbuatan
· Kesepatan
dari seluruh mujtahid itu benar-benar teralisir, apabila hanya sebagian saja
dari mereka maka tidak terjadi ijma’. Menurut Abdul Wahab Khalaf ijma ’ tidak
mungkin terjadi apabila diserahkan hanya kepada seseorang, dan munkin terjadi
apabila diserahkan kepada pemerintah islam, masing-masing ditanya pendapatnya,
dan mujtahid mengukapkan pendapatnya dan kebetulan pendapatnya mereka sama,
maka pendapat itu menjadi ijma’ dan hukum di ijma’kan itu menjadi hukum syara’
yang wajib di ikuti oleh kaum muslimin.
C.
Macam-macam ijma’
· Al-Ijma’ As Sarih adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum suatu
peristiwa dengan menampilkan pendapatnya masing secar jelas, baik dengan
perkatan ataupun dengan tulisan atau dengan perbuatan.
· Al-Ijma’ As Sukuty adalah jika sebagian mujtahid itu berdiam diri tidak berterus terang
mengeluarkan pendapatnya dan diamnya itu bukan karena takut, segan atau karena
malu, akan tetapi diamnya itu karena karena betul-betul tidak menangapi atas
pendapat yang lain, baik menyetujuai atau menolaknya
D. Kedudukan dan kehujjahanya.
Para ulama menetapkam bahwa kedudukan ijma’
sebagai hujjah terletak dibawah deretan Al Qura’an dan As Sunah. Ijma tidak
boleh menyalahi nas yang qat’i jumhur. Ulama mengatatakan bahwa hanya ijma’
sharih saja dapat dijadikan sebagi hujah syari’ah, akan tetapi ulama hanafiah
menbolehkan hujah sukuti sebagai menjadi hujjah. Kebanyakan ulama berpendapat
nilai kehujjahan ijma’ adalah dzanni.