1)
Desentralisasi Manajemen Kurikulum Pendidikan
Desentralisasi manajemen kurikulum berkenaan
dengan kemampuan daerah dalam aspek relevansi. Permasalahan relevansi
pendidikan selama ini diarahkan pada kurangnya kepercayaan pemerintah pada
daerah untuk menata sistem pendidikannnya yang setara dengan kondisi objektif
di daerahnya. Situasi ini memacu terciptanya pengangguran lulusan akibat tidak
relevannya kurikulum dengan kondisi daerah. Karena itu, desentralisasi
kurikulum menjadi alternatif yang harus dilakukan. Pelaksanaan kurikulum muatan
local yang selama ini memiliki pertimbangan persentase lebih kecil dari pada
kurikulum nasional belum cukup memadai situasi, kondisi dan kebutuhan daerah.
Perubahan yang paling mendasar dalam aspek salah
satu contoh desentralisasi manajemen kurikulum, bahwa pendidikan harus mampu
mengoptimalkan semua potensi kelembagaan yang ada dalam masyarakat, baik pada
lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah, masyarakat atau swasta.
Persyaratan dasar penetapan jenis kurikulum antara lain: (1) Kurikulum
dikembangkan berdasarkan minat dan bakat peserta didik; (2) Kurikulum berkaitan
dengan karakteristik potensi wilayah setempat misalnya sumber daya alam,
ekonomi, pariwisata dan sosial-budaya; (3) Dapat dikembangkan secara nyata
sebagai dasar penguatan sktor usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat; (4)
Pembalajaran berorientasi pada peningkatan kompetensi keterampilan untuk
belajar dan bekerja, lebih bersifat aplikatif dan operasional; (5) Jenis
keterampilan ditetapkan oleh pengelola program bersama-sama dengan peserta
didik, orang tua, tokoh masyarakat, dan mitra kerja.
Dengan demikian, persyaratan utama dalam bobot
muatan kurikulum harus mendasar, kuat,
dan lebih luas. Mendasar, dalam arti terkait dengan pemberian kemampuan
dalam upaya memenuhi kebutuhan mendasar peserta didik sebagai individu maupun anggota
masyarakat. Kuat, dalam arti terkait
dengan isi dan proses pembelajaran atau penyiapan peserta didik untuk menguasai
pengetahuan, sikap dan keterampilan yang kuat, sehingga memiliki kemampuan
untuk mandiri dalam meningkatkan kualitas pemenuhan kebutuhan mendasarnya. Luas, dalam arti terkait dengan
pemanfaatan dan pendayagunaan potensi dan peluang tersebut didayagunakan baik
pada saat proses pembelajaran maupun pada saat penerapan hasil pembelajaran.
Ketiga aspek tersebut secra bersama-sama memberikan kemampuan kepada peserta
didik untuk dapat menyesuaikan diri terhadap berbagai kemungkinan kondisi,
potensi dan peluang yang ada di lingkungannya.
Kompetensi yang dituntut ialah bekal
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan fungsional praktis serta perubahan
sikap untuk bekerja dan berusaha secara mandiri, membuka lapangan kerja dan
lapangan usaha serta memanfaatkan peluang yang dimiliki, sehingga dapat
meningkatkan kualitas kesejahteraannya.
Strategi pembelajaran dirancang untuk
membimbing, melatih dan membelajarkan peserta didik agar mempunyai bekal dalam
menghadapi masa depannya, dengan memanfaatkan peluang dan tantangan yang ada.
Metodologi pengajaran berpegang pada prinsip belajar untuk memperoleh
pengetahuan (learning to learn), belajar untuk dapat berbuat atau bekerja
(learning to do), belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain (learning
to live together).
Pengembangan kurikulum pendidikan ini harus
didasarkan pada perkembangan kehidupan masyarakat, pengembangan jati diri
manusia (insane kamil). Isi dan muatan kurikulum pendidikan harus berorientasi
pada dimensi-dimensi penguasaan bidang keterampilan, keahlian dan kemahiran
berkiprah sebagai anggota keluarga yang hidup bermasyarakat bangsa dan Negara,
dan mampu pula berkiprah dalam persaingan global. Misalnya: (1) Kemampuan
membaca dan menulis secara fungsional baik dalam bahasa Indonesia maupun salah
satu bahasa asing; (2) Kemampuan merumuskan dan memecahkan masalah yang
diproses lewat pembelajaran berpikir ilmiah; penelitian (explorative), penemuan
(discovery) dan penciptaan (inventory); (3) Kemampuan menghitung dengan atau
tanpa bantuan teknologi; (4) Kemampuan memanfaatkan beraneka ragam teknologi
diberbagai lapangan kehidupan (pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan,
kerumahtanggaan, kesehatan, komunikasi-informasi, manufaktur dan industry,
perdagangan, kesenian, pertunjukkan dan olahraga); (5) Kemampuan mengelola
sumberdaya alam, sosial, budaya dan lingkungan. Merujuk pendekatan tersebut,
dari sisi kelompok sasaran pada dasarnya tidak hanya terbatas untuk pesera
didik usia dewasa yang siap untuk berusaha mencari nafkah. Nilai yang
terkandung dan arah dari orientasi dari kedua konsep tersebut memungkinkan juga
untuk dikuasai oleh usia anak-anak dan pra dewasa. Hal ini didasarkan pada
aspek filosofis, sosial –budaya dan psikologis yang dijadikan landasan dari
ketiga aspek tersebut.
Filosofis, mengandung arti bahwa pendidikan
berlangsung seumur hidup dan dilakukan dilingkungan keluarga, formal dan non
formal. Sosial Budaya, mengandung arti bahwa nilai-nilai berikut kelembagaan
sosial dan budaya yang ada dan berkembang di masyarakat dijadikan sumber isi
kurikulum dan arena penerapan hasil pembelajaran. Psikologis, mengandung arti
mengoptimalkan segenap potensi yang dimiliki individu. Penerapan ketiga konsep
tersebut kepada kelompok sasaran melalui proses pendidikan mulai dari usia anak
hingga usia dewasa sudah barang tentu perlu mempertimbangkan karaketristik
kesiapan belajar masing-masing.
Dalam aspek desentralisasi kurikulum melalui implementasi
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), kebijakan KTSP yang dilakukan Dinas
Pendidikan pada setiap kabupaten/kota, dari aspek responsitas, telah
menunjukkan kinerja yang responsive dengan telah mengadakan pelatihan
implementasi KTSP bagi guru SD, SMP, SMU dan SMK. Dalam konteks fasilitasi dan
pendampingan implementasi kebijakan KTSP, mengandung maksud untuk meneliti
perkembangan pelaksanaan suatu program supaya berbagai hal penyimpangan dan
kekeliruan dapata ditemukan sejak dini sehingga dapat diperbaiki dan diarahkan
secara langsung sedini mungkin sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Tujuan umum program fasilitas dan pendampingan
implementasi KTSP ialah untuk menumbuhkembangkan kapasitas tim (capacity
building team) para pelaksana kebijakan KTSP di lingkungan sekolah. Sedangkan
tujuan secara khususnya ialah: (1) Dapat memfasilitasi para pengawas, kepala
sekolah dan guru dalam implementasi KTSP; (2) Dapat memperoleh gambaran tingkat
ketercapaian penerapan hasil pelatihan, atau dampak/pengaruh pelatihan terhadap
peningkatan kinerja para pengawas, kepala sekolah dan guru dalam implementasi
KTSP di tingkat persekolahan.
Secara umum, program ini mempunyai dampak
positif terhadap pengembangan kebijakan dalam upaya pengetasan permasalahan yang
dihadapi oleh para pengawas, kepala sekolah dan guru, baik yang berkenaan
dengan orientasi wawasan, arah strategi impelementasi program, materi dan
evaluasi kegiatan, melalui upaya-upaya perbaikan dan pengembangan sistem, baik
yang menyangkut bimbingan teknis (facilitation) maupun pelayanan pelatihan
(training services) lebih lanjut.
Dampak tersebut, akan menghasilkan: (1) Rumusan
tentang model kerangka atau prosedur implementasi yang dapat dijadikan rujukan
dalam penyusunan desain implementasi untuk setiap peran pemeran di lingkungan
persekolahan; (2) Desain model kerjasama antara guru, kepala sekolah, dan
pengawas sekolah dalam rencana kerja dan program aksi pengembangan KTSP. (3)
Desain kerjasama lebih lanjut antara pihak rekanan (para pendamping/fasilitator)
dengan instansi-instansi teknis atau kelembagaan pendidikan khususnya dalam
setiap implementasi dan pengembangan kebijakan dalam pembangunan pendidikan di
daerah.
Program yang direncanakan terdiri dari dua
jenis, yaitu (1) program fasilitas, dan (2) program pendampingan. Program
fasilitas, dalam bentuk pembekalan dan pelatihan, berkenaan dengan upaya
memberikan pengetahuan, membangkitkan semangat dan kemauan, dan pelatih
keterampilan teknis tentang: (a) Apresiasi wawasan pengetahuan tentang isi (substansi),
proses, dan konteks implementasi kebijakan KTSP; (b) Tugas pokok, fungsi dan
pernanan guru, kepala sekolah dan pengawas dalam manajemen implementasi KTSP;
(c) Kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan masing-masing peran-pemeran dalam
manajemen implementasi KTSP di persekolahan; (d) Teknik menyusun program
kurikulum dan pembelajaran; (e) Teknik menyusun silabus dan satuan acara
pembelajaran; (f)Teknik pengukuran, evaluasi dan pelaporan hasil pembelajaran;
(g) teknik supervise, monitoring, evaluasi program kurikulum sekolah; (h)
Teknik membina dan mengembangkan kerjasama tim.
Program pendampingan, berupa supervise klinis
dan bimbingan teknis, melalui metode dan teknik “applied approach”, mengenai:
(a) Intensitas penerapan keterampilan teknis pasca pelatihan; (b) Tingkat
kesulitan dan hambatan dalam melaksanakan hasil-hasil pelatihan; (c) Tindakan
fasilitas, pembimbingan dan pendampingan dalam mengatasi persoalan dan hambatan
dalam implementasi KTSP. tahapan-tahapan berikut. Pertama, tahap fasilitas. Kedua,
tahap pendampingan. Ketiga, tahap pelaporan.
2)
Desentralisasi Manajemen Tenaga Kependidikan
Individu maupun organisasi dituntut dapat hidup
secara kreatif, responsive, dan inovatif. Kreatif karena individu dan
organisasi harus mencari cara terbaik untuk dapat ‘survive’ dalam usahanya
bersaing dengan individu dan organisasi lainnya. Responsif agar mendapatkan
sumberdaya yang terbaik dan memadai. Dan inovatif agar dapat meningkatkan
efisiensi, efektivitas dan produktivitas yang diinginkannya.
Individu maupun organisasi dituntut apat hidup
secara jujur, kreatif, responsive, dan inovatif dan transparan. Jujur karena
setiap individu dalam organisasi mempunyai moralitas, agama dan keyakinan,
serta komitmen; kretif karena individu dan organisasi harus mencari cara
terbaik untuk dapat ‘suvive’ dalam usahanya bersaing dengan individu dan
organisasi lainnya; responsif agar mendapatkan
sumberdaya yang tebaik dan memadai; inovatif agar dapat meningkatkan
efisiensi, efektivitas dan produktivitas yang diinginkannya; dan transparan
karena harus dipertanggungjawabkan.
Dikaitkan dengan persoalan pelaksanaan
desentralisasi dalam manajemen pendidikan, patut dicermati, bahwa paradigm yang
terulang dalam kitab UU.No.32/2004 didasarkan pada demokrasi pemerintahan,
pemberdayaan aparatur pemerintah dan masyarakat, serta peningkatan pelayanan
umum kepada masyarakat. Dan secara operasional, undang-undang tersebut menuju
kearah kemandirian segala lapisan masyarakat dalam segala aspeknya, termasuk
dalam bidang pendidikan. Persoalan yang mendasar yang patut dipertegas ialah
pihak-pihak yang harus berperan dalam pelaksanaan pendidikan. Sekalipun telah
disepakati bahwa pelaksanaan pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara
keluarga, masyarakat dan pemerintah. Akan tetapi bila dalam praktikannya lebih
didomonasi pihak pemerintah. Dengan sendirinya pihak-pihak yang paling
bertanggungjawab dalam kegagalan-kegagalan pencapaian tujuan pendidikan ialah
pemerintah.
→ Tugas Manajer
Pendidikan
Para manajer pendidikan pada tingkatan pengelola
sistem pendidikan nasional adalah seorang policy maker bagi segala kegiatan
yang harus dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pendidikan,
baik dilingkungan organisasi sistem pendidikan, maupun pada lingkungan
organisasi satuan pendidikan. Demikian pula kegiatan-kegiatan yang menyangkut
substansi (bidang garapan) manajemen pendidikan sangat tergantung kepada
putusan-putusan yang ditetapkan oleh para manajer pendidikan sebagai pimpinan
dan penanggung jawab kegiatan manajemen.
Dengan demikian, upaya pencapaian tujuan
pendidikan nasional maupun tujuan kelembagaan sekolah akan banyak dipengaruhi
oleh keterampilan-keterampilan (skills) dan wawasan (vision) yang dimiliki oleh
manajer pendidikan dalam melaksanakan tugas, peranan dan fungsinya segabai
manajer pendidikan. Apabila para manajer pendidikan memiliki visi, wawasan, dan
kemampuan-kemampuan profesinal yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tugasnya
sebagai pimpinan dan penanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional, akan
memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan yang diharapkan secara efektif.
3) Desentralisasi
Manajemen Pembiayaan Pendidikan
Pendidikan disamping mempunyai manfaat ekonomi juga
mempunyai manfaat sosial-psikologis yang sulit dianalisis secara ekonomi. Namun
pendekatan ekonomi dalam menganalisis pendidikan memberikan kontribusi
sekurang-kurangnya terhadap dua hal yaitu (1) Analisis efektivitas dalam arti
analisis penggunanaan biaya yang dimanfaatkan untuk mencapai tujuan-tujuan
pendidikan; (2) Analisis efisiensi penyelenggaraan pendidikan dalam arti
perbandingan hasil dengan sjumlah pengorbanan yang diberikan.
0 komentar:
Posting Komentar